Adat Bugis
Di Bugis terdapat
tarian adat yang disebut tari pergaulan. Tarian dimainkan secrara berkelompok
yang dimainkan beberapa kelompok perempuan atau sekelompok laki-laki. Tidaka
ada sekelompok laki-laki dan perempuan menjadi satu. Tarian yang dimainkan oleh
sekelompok perempuan dan sekelompok laki-laki disebut Pakarena Burakne. Adapun
tarian yang dimainkan oleh sekelompok perempuan disebut Pakarena Baine. Kedua
jenis tarian ini menggambarkan kehalusan putra putri Bugis. Tari pergaulan
sering kali disajikan dalam berbagai upacara seperti pernikahan, khitanan atau
hajatan. Adat bugis - Benang merah antara agama dan budaya itu tentu sudah lama
menorehkan sejumlah masalah, baik dari segi subtansinya, maupun tanggapan yang
berkembang di tengah masyarakat. Diantara sekian banyak perdebatan itu antara
lain menyangkut pembacaan barzanji (mabbarazanji), perayaan maulid (ammaudhu’)
dengan segala baku’ dan kanre maudhu’-nya, asyura (ajjepe syura),
upacara-upacara adat dan tradisi yang berkaitan dengan perayaan siklus hidup seperti
: alahere, aqeqah, appatamma, khitanan adat (assunna), appabunting, dan
ammateang. Begitu pula upacara adat lainnya seperti menre bola, mappalili,
mappadendang, mattemmu taung), ziarah kubur (assiara ri kobbang), apparuru lopi
atau ammocci biseang, appanaung, appanaik, dan lain sebagainya. Setiap upacara
adat dan tradisi tersebut selalu disertai dengan pembacaan kitab barzanji. Hal
ini terjadi pula pada Perayaan Hari - hari besar islam dengan nuansa dan warna
sinkretisme, seperti perayaan maulid Nabi Muhammad SAW dengan rentetan acaranya
sebagai berikut : appakarammula, ammone baku, ammode’ baku, angngantara kanre
maudu’, pannarimang kanre maudu’, a’rate (assikkiri’), pammacang salawa,
pattoanang, pabbageang kanre maudu. Perayaan hari-hari besar islam yang juga
menghadirkan pembacaan “zikkiri – barazanji”, selain Maulid Nabi adalah : Isra
Mi’raj, Sepuluh Muharram, bahkan pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, masih
banyak masyarakat menyelenggarakan barzanji atau mengundang “pabaca doang”
(Pembaca Doa, biasanya imam kampung atau anrong guru) ke rumahnya untuk
membacakan segala jenis dan rupa makanan, yang diiringi bau asap kemenyan.
Dalam pandangan agama (Islam), hal tersebut bisa dianggap musyrik (menyekutukan
Allah) atau “bid’ah” (tidak ada dalam syariat Islam/tidak ada tuntunannya
sebagaimana yang pernah dicontohkan dalam kehidupan Rasulullah SAW). Seperti
diketahui, Agama Islam masuk di Sulawesi Selatan, dengan cara yang sangat
santun terhadap kebudayaan dan tradisi masyarakat Bugis Makassar. Bukti nyata
dari sikap kesantunan Islam terhadap budaya dan tradisi Bugis Makassar dapat
kita lihat dalam tradisi – tradisi keislaman yang berkembang di Sulawesi
Selatan hingga kini. Seperti mengganti pembacaan kitab La Galigo dengan tradisi
pembacaan barzanji, sebuah kitab yang berisi sejarah kehidupan Nabi Muhammad
SAW, dalam setiap hajatan dan acara, doa – doa selamatan, bahkan ketika membeli
kendaraan baru, dan lain sebagainya. Tradisi Mabbarazanji ini merupakan bukti
terjadinya asimilasi damai dengan budaya Bugis Makassar. Dengan semakin
berkurangnya orang yang bisa membaca kitab barzanji, apakah ini merupakan awal
kehancuran atau hilangnya tradisi masyarakat Bugis Makassar terkait perayaan
atau penyelenggaraan upacara siklus hidup (alahere, aqeqah, appatamma, khitanan
adat (assunna), appabunting, dan ammateang), ataukah akan muncul tradisi baru,
tradisi lama tanpa pembacaan kitab barzanji, ataukah dengan gejala ini,
merupakan suatu awal yang bagus bagi masyarakat islam bugis makassar untuk
meninggalkan dan menanggalkan tradisi budayanya yang ‘kurang islami’, dan
apakah benar membaca kitab barzanji merupakan suatu hal yang bid’ah dalam
pandangan ajaran Islam. Tradisi Mappacci Bugis Makassar Mappacci adalah kata
kerja dari ‘mapaccing’ yang berarti bersih. Terkadang, di beberapa daerah
Bugis, mappacci dikenal dengan sebutan mappepaccing. Dalam bahasa Bugis,
mappacci/mappepaccing merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk
membersihkan segala sesuatu. Mappepaccing bola sibawa lewureng, yang berarti
membersihkan rumah dan tempat tidur. Adapun kata perintahnya ‘paccingi’ yang
berarti bersifat menyuruh atau memerintahkan untuk membersihkan. Paccingi
kasoro’mu berarti bersihkan kasurmu. Kebanyakan kata kerja dalam bahasa bugis
diawali dengan kata ‘Ma’, seperti; maggolo (main bola), mattinju (bertinju),
mallaga (berkelahi), mammusu’ (bertempur), makkiana’ (melahirkan), dsb. Kata
mapaccing dan mappacci merupakan dua kata yang kalau dilihat sekilas agaknya
sama, namun memiliki arti yang berbeda. Yang pertama merupakan kata sifat dan
yang kedua kata kerja. Kita sering mendengarkan penggunaan kata ini dalam
kehidupan sehari-hari, khususnya di masyakat Bugis. Perkembangan selanjutnya,
istilah mappaccing lebih sering dikaitkan dengan salah satu rangkain kegiatan
dalam proses perkawinan masyarakat Bugis-Makassar. Mappaccing lebih dikenal
oleh masyarakat sebagai salah satu syarat yang wajib dilakukan oleh mempelai
perempuan, terkadang sehari, sebelum pesta walimah pernikahan. Biasanya, acara
mappaccing dihadiri oleh segenap keluarga untuk meramaikan prosesi yang sudah
menjadi turun temurun ini. Dalam prosesi mappaccing, terlebih dahulu pihak
keluarga melengkapi segala peralatan yang harus dipenuhi, seperti; Pacci
(biasanya berasal dari tanah arab, namun ada pula yang berasal dari dalam
negeri), daun kelapa, daun pisang, bantal, sarung sutera, lilin, dll. Tujuan
dari mappacci adalah untuk membersihkan jiwa dan raga calon pengantin sebelum
mengarungi bahtera rumah tangga. Tidak diketahui dengan pasti, sejarah awal
kapan kegiatan mappacci ditetapkan sebagai kewajiban adat (suku Bugis/Makassar)
sebelum pesta perkawinan. Tapi, menurut kabar yang berkembang dikalangan
generasi tua, prosesi mappacci telah mereka warisi secara turun-menurun dari
nenek moyang kita, bahkan sebelum kedatangan agama Islam dan Kristen di tanah
Bugis-Makassar. Oleh karena itu, kegiatan ini sudah menjadi budaya yang
mendarah daging dan sepertinya sulit terpisahkan dari ritual perkawinan
Bugis-Makassar. Mappacci menjadi salah satu syarat dan unsur pelengkap dalam pesta
perkawinan di kalangan masyarakat Bugis-Makassar. Namun, ketika Islam datang,
prosesi ini mengalami sinkretisme atau berbaur dengan budaya Islam. Bahkan
Islam sebagai agama mayoritas suku Bugis-Makassar telah mengamini prosesi ini,
melalui alim ulama yang biasa digelar Anregurutta. Sekalipun Mappacci bukan
merupakan suatu kewajiban agama dalam Islam, tapi mayoritas ulama di daerah
Bugis-Makassar menganggapnya sebagai sennu-sennungeng ri decengnge (kecintaan
akan kebaikan). Yang terjadi kemudian, pemuka agama berusaha untuk mencari
legalitas atau dalil mappacci dalam kitab suci untuk memperkuat atau
mengokohkan budaya ini. Sebagai contoh, salah satu ulama Islam tersohor di
Bone, Alm. AGH. Daud Ismail, berusaha menafsirkan dan memaknai prosesi mappacci
beserta alat-alat yang sering digunakan dalam prosesi ini. Sebelum prosesi
Mappacci, biasanya calon pengantin perempuan dihias dengan pakaian pengantin
khas Bugis-Makassar. Selanjutnya, calon pengantin diarak duduk di atas kursi
(namun ada pula yang duduk di lantai) untuk memulai prosesi mappacci. Di depan
calon pengantin perempuan, diletakkan sebuah bantal yang sering ditafsirkan dan
dianggap sebagai simbol kehormatan. Bantal sering diidentikkan dengan kepala,
yang menjadi titik sentral bagi aktivitas manusia. Diharapkan dengan simbol
ini, calon pengantin lebih mengenal dan memahami akan identitas dirinya,
sebagai mahluk yang mulia dan memiliki kehormatan dari Sang Pencipta
(Puangge:Bugis). Di atas bantal, biasanya diletakkan sarung sutera yang
jumlahnya tersusun dengan bilangan ganjil. Sebagian ulama menyamakan susunan
sarung sutera ganjil, dengan Hadis Nabi Saw yang yang berbunyi; Allah itu
ganjil dan suka yang ganjil. Sarung sendiri ditafsirkan sebagai sifat istikamah
atau ketekunan. Sifat istikamah sendiri, telah dipraktikkan oleh sang pembuat
sarung sutera. Tiap hari, mereka harus menenun dan menyusun sehelai demi
sehelai benang, hingga menjadi sebuah sarung yang siap pakai. Dengan sikap
istikamah atau ketekunan ini, diharapkan calon pengantin dapat mengambil
pelajaran dan hikmah dari sang pembuat sarung sutera untuk diamalkan dalam
kehidupan rumah tangga. Terkadang juga, sarung dianggap sebagai simbol penutup
aurat bagi masyarakat Bugis-Makassar. Jadi, diharapkan agar calon mempelai
perempuan senantiasa menjaga harkat dan martabatnya, tidak menimbulkan rasa
malu (siri’) di tengah-tengah masyarakat kelak. Terkadang, diatas sarung sutera
diletakkan daun pisang. Daun pisang memang tidak memilik nilai jual yang
tinggi, tapi memiliki makna yang mendalam bagi manusia pada umumnya. Salah satu
sifat dari pisang adalah tidak akan mati atau layu sebelum muncul tunas yang
baru. Hal ini selaras dengan tujuan utama pernikahan, yaitu; melahirkan atau
mengembangkan keturunan. Karakter lain dari pisang, yaitu; satu pohon pisang,
dimungkinkan untuk dinikmati oleh banyak orang. Dengan perkawinan, diharapkan
calon pengantin berguna dan membawa mampaat bagi orang banyak. Diatas daun
pisang, terkadang diletakkan daun nangka. Daun nangka tentu tidak memiliki
nilai jual, tapi menyimpan makna yang mendalam. Anregurutta di Bone pernah
berkata dalam bahasa Bugis; Dua mitu mamala ri yala sappo ri lalenna
atuwongnge, iyanaritu; unganna panasae (lempuu) sibawa belona kalukue
(paccing). Maksudnya, dalam mengarungi kehidupan dunia, ada dua sifat yang
harus kita pegang, yaitu; Kejujuran dan Kebersihan. Jadi, dalam mengarungi
bahtera rumah tangga, calon pengantin senantiasa berpegang pada kejujuran dan
kebersihan yang meliputi lahir dan batin. Dua modal utama inilah yang menjadi
pegangan penting, bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam mengarungi bahtera rumah
tangga. Diatas daun pisang, terkadang juga diletakkan gula merah dan kelapa
muda. Dalam tradisi masyarakat Bugis-Makassar, menikmati kelapa muda, terasa
kurang lengkap tanpa adanya gula merah. Sepertinya, kelapa muda sudah identik
dengan gula merah untuk mencapai rasa yang nikmat. Seperti itulah kehidupan
rumah tangga, diharapkan suami-istri senantiasa bersama, untuk saling
melengkapi kekurangan dan menikmati pahit manisnya kehidupan duniawi. Terakhir,
mappacci juga dilengkapi dengan lilin sebagai simbol penerang. Konon, zaman
dahulu, nenek moyang kita memakai Pesse’(lampu penerang tradisional yang
terbuat dari kotoran lebah). Maksud dari lilin, agar suami-istri mampu menjadi
penerang bagi masyarakat di masa yang akan datang. Masih banyak lagi peralatan
prosesi, yang biasa dipakai oleh masyarakat, sesuai dengan adat dan kebiasaan
mereka. Namun, secara umum peralatan yang telah disebutkan diatas, standar yang
sering digunakan dibeberapa daerah Bugis-Makassar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar